Ia menegaskan, pembangunan industri pengolahan gambir akan menjadi solusi strategis untuk memutus rantai panjang perdagangan dan meningkatkan nilai tambah di daerah.
“Kalau pabrik hilirisasi berdiri di Sumbar, petani tak lagi menjual bahan mentah. Nilai tambahnya bisa kita nikmati di sini. Tapi pelaksanaannya tergantung pusat dan pembiayaannya,” ujarnya.
Selama bertahun-tahun, tata niaga gambir Sumbar dikenal tidak transparan. Petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat, karena harga di tingkat lapangan ditentukan oleh fluktuasi pasar global, terutama permintaan dari India dan Tiongkok yang menjadi pembeli utama katekin mentah.
Produk tannin katekin mentah dari Sumbar bersaing ketat dengan produk turunan yang sudah lebih maju seperti bahan baku kosmetik, farmasi, dan sampo yang diproduksi di luar negeri.
Afniwarman menilai, tanpa perubahan sistemik dari hulu hingga hilir, Sumbar akan terus menjadi “penonton” dalam industri yang bahan bakunya justru berasal dari nagari-nagari di Ranah Minang. “Kita tak boleh terus menjual tanah air dalam bentuk mentah. Pabrik pengolahan ini harus menjadi awal perubahan tata kelola, dari sistem jual-beli bahan mentah menuju industri bernilai tinggi,” pungkasnya. (*)